Pancasila Seharusnya Multitafsir, Bukan Monotafsir

DPR RI kembali menjadi sorotan utama di media Indonesia, kali ini karena dirilisnya draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Tujuan dari RUU tersebut masih dipertanyakan, namun banyak akademisi menyimpulkan bahwa tujuannya adalah untuk menjadi landasan hukum yang mengatur panduan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Namun, RUU ini telah menuai kritik dari masyarakat dan akademisi. Rancangan hukum ini dianggap tidak penting untuk dibahas di tengah pandemi Covid-19 yang menjadi masalah utama bagi pemerintahan Indonesia saat ini. Selain itu, akademisi juga mengkritik substansi pasal-pasalnya yang dianggap mengandung banyak kecacatan. Bahkan, ada yang khawatir bahwa norma dalam RUU HIP berpotensi memunculkan kembali ciri otoritarian pada masa Orde Baru.

Pakar Hukum Administrasi dari FH UNAIR, Dr. Suparto Wijoyo, juga sependapat dengan kritik tersebut. Dalam acara Webinar: Mengkaji RUU HIP, ia menyatakan bahwa RUU ini kembali menghidupkan perdebatan tentang ideologi bangsa Indonesia yang seharusnya sudah tidak relevan di zaman sekarang. Dia menyoroti bahwa Pancasila telah mengalami berbagai variasi, tetapi versi Pancasila yang diakui oleh Indonesia saat ini adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

“Semuanya sudah diatur dengan jelas dalam TAP MPR NOMOR III/MPR/2000 bahwa Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua hukum positif di Indonesia adalah penjabaran dari norma-norma Pancasila tersebut. Lalu, apa gunanya merumuskan RUU HIP sebagai penjabaran butir-butir Pancasila?,” ujar Suparto.

Dr. Prawitra Thalib, seorang Pakar Hukum Bisnis Syariah, juga menemukan bahwa substansi RUU HIP justru tidak mengklarifikasi norma Pancasila, tetapi malah membingungkan. Ia menunjukkan bahwa norma-norma seperti Trisila dan Ekasila, yang sebenarnya hanya merupakan embrio dari Pancasila, dihadirkan kembali dalam RUU tersebut. RUU HIP juga mengatur bahwa inti dari Pancasila adalah keadilan sosial, sementara Prawitra meyakini bahwa inti dari Pancasila bukan hanya keadilan sosial, tetapi mencakup kelima sila dari Pancasila itu sendiri, dan tidak ada yang lebih utama dari yang lain.

“Berbagai penjabaran filosofi Pancasila dalam RUU tersebut menurut saya akan mempersempit ruang tafsir Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila seharusnya memiliki banyak tafsiran, bukan tafsiran tunggal,” jelas Prawitra.

Kedua akademisi hukum ini menyatakan bahwa RUU ini tidak perlu dibahas dalam sidang DPR dan sama sekali tidak mendesak untuk dibahas di tengah pandemi Covid-19 yang seharusnya menjadi prioritas bagi eksekutif dan legislatif.

Catatan penting, informasi di atas diungkapkan oleh Dr. Suparto Wijoyo dan Dr. Prawitra Thalib dalam Webinar: Mengkaji RUU Haluan Ideologi Pancasila yang diselenggarakan oleh BEM FH UNAIR melalui Google Meet pada Jumat siang (20/6/2020).