Humas (19/8/2023) | Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia menyelenggarakan webinar diskusi “Strategi Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Flores dan Selat Malaka” pada Selasa (1/8/2023) lalu. Webinar yang juga disiarkan secara langsung melalui platform Youtube Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia itu turut mengundang lima narasumber yang merupakan ahli kelautan dari berbagai fokus bidang, yaitu Ir. Suharyanto, M.Sc. (Plt. Direktur Perencanaan Ruang Laut); Laksamana Pertama TNI Dyan Primana Sobarudin, M.Sc. (Asopssurta Danpushidrosal); Benny Herlambang (Wakil Ketua Bidang Legal & Regulatory Asosiasi Sistem Komunikasi Kabel Laut Seluruh Indonesia); Otte Sulistyo M. (GHG & ESG Manager Premiere Oil Andaman Ltd); serta Dr. Nilam Andalia Kurniasari, S.H., LL.M. (Center for Maritime and Ocean Law Studies (MAROCLAW) Universitas Airlangga).
Dr. Nilam merupakan dosen hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) yang juga mengajar mata kuliah hukum laut di FH UNAIR. Saat ini, ia juga menjabat sebagai peneliti MAROCLAW. Fokus bidang penelitian Dr. Nilam yaitu bidang hukum internasional, hukum perdagangan internasional, hukum laut, dan hukum maritim.
Dalam webinar diskusi tersebut, Dr. Nilam menerangkan kondisi nyata pelayaran saat ini di Selat Malaka sangat crowded, karena Selat Malaka terletak di antara negara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Selat Malaka yang berbentuk seperti corong menjadikan selat ini menjadi selat dengan pelayaran tersibuk yang diapit oleh empat negara. Kabel-kabel yang berada di Selat Malaka pun sama crowded-nya dengan jalur pelayaran Selat Malaka. Kabel-kabel itu tidak hanya melintas di Asia saja, tetapi sampai ke Amerika Serikat.
“Di Flores dapat dilihat bahwa ternyata tidak terlalu banyak kabel yang ditanam atau diletakkan di sekitaran pelayaran Flores, karena dalam hukum internasional ada wilayah-wilayah tertentu yang merupakan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Ketika berbicara mengenai ZEE, maka yang berlaku adalah hak berdaulat. Khusus mengenai kabel ini, yang berlaku adalah freedom. Artinya ketika terdapat freedom tersebut di lokasi di mana Indonesia tidak lagi memiliki yurisdiksi, maka negara lain bebas untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di wilayah itu,” tutur Dr. Nilam.
Negara pantai memiliki hak berdaulat atas ZEE, tetapi hukum internasional juga memperbolehkan negara lain untuk memiliki kebebasan menanam atau meletakkan kabel atau pipa bawah laut di wilayah yang sudah bukan yurisdiksi negara Indonesia. Namun, untuk kasus perairan Flores, sambung Dr. Nilam, negara Indonesia masih memiliki yurisdiksi penuh atas perairan tersebut sehingga negara lain yang mau menanam atau meletakkan kabel atau pipa bawah laut di wilayah perairan Flores harus meminta izin kepada pemerintah Indonesia.
“Sama juga di Selat Malaka. Tidak hanya ZEE saja, tetapi Indonesia pun punya laut teritorial di sana. Perlakuan di Selat Malaka seharusnya sama dengan perlakuan di perairan Flores,” jelas Dr. Nilam.
Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2023 dan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2023 telah mengatur keberlakuan negara-negara yang berdaulat. Keberlakuan ini harus diperhatikan oleh siapa pun yang mengimplementasikan regulasi.
“Jangan sampai kegiatan peletakkan kabel bawah laut mengganggu pelayaran. Safety of navigation itu penting. Khusus untuk Selat Malaka, harus benar-benar diperhatikan karena apabila terjadi kecelakaan di Selat Malaka yang mengakibatkan terhambatnya pelayaran, maka yang rugi adalah seluruh dunia, tidak hanya Indonesia saja,” tambah alumni S1 FH UNAIR tersebut.
Dr. Nilam mengatakan perairan Flores berpotensi menjadi jalur alternatif peletakkan kabel dan pipa bawah laut. Ia menegaskan agar para pihak lebih memperhatikan perairan Flores yang kaya akan biota laut tidak rusak akibat penanaman dan peletakkan kabel dan pipa bawah laut.
“Negara Indonesia memiliki kedaulatan penuh di wilayah ini, jadi harus benar-benar diperhatikan peletakkan tata ruangnya,” tukasnya.
Penulis : Dewi Yugi Arti
source
https://unair.ac.id