Restorative Justice Bagi Pelaku Penyalahgunaan Narkotika

Restorative Justice adalah suatu konsep pemikiran yang sedang berkembang dalam masyarakat sebagai pendekatan modern dalam hukum pidana. Konsep ini muncul sebagai tanggapan terhadap pendekatan retributif justice dan sistem criminal justice yang dianggap tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat. Keadilan restoratif, seperti yang dikenal dalam Bahasa Indonesia, telah diakomodasi dalam hukum nasional dalam bentuk yang terbatas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur pendekatan restorative justice dalam penanganan tindak pidana anak, yang disebut diversi. Selain itu, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 juga mengatur tentang pendekatan restorative justice.

Penerapan restorative justice biasanya dilakukan dengan menghadapkan pelaku dan korban agar dapat mencapai kesepakatan mengenai pemaafan dan besaran ganti rugi bagi korban guna memulihkan keadaan semula. Namun, muncul pertanyaan mengenai bagaimana penerapan pendekatan restorative justice pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yang pada hakikatnya adalah “victimless crime”.

Dalam sebuah diskusi yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga bersama Delegasi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, pembahasan mengenai hal tersebut tampaknya telah dilakukan. Pendekatan restorative justice dikaji berdasarkan definisi Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, yang menekankan pada penyelesaian konflik dan memberikan pemahaman kepada pelaku bahwa perilakunya tidak dapat dibenarkan, sekaligus mendukung dan menghormati individu.

Diskusi juga mengulas konsep dasar penyalahgunaan narkotika berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam konteks ini, rehabilitasi dipertimbangkan hanya bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, sedangkan bagi mereka yang memiliki dan menguasai narkotika, rehabilitasi tidak diwajibkan. Hal ini menimbulkan kerancuan bagi penegak hukum dalam mengimplementasikan pasal yang tepat.

Dalam aspek filosofis, restorative justice menekankan pemenuhan keadilan yang mengembalikan pada kondisi sebelum tindak pidana terjadi, sementara pendekatan pemidanaan menekankan pada keadilan retributif dan resosialisasi. Restorative justice juga menekankan pentingnya musyawarah dan partisipasi dalam menemukan solusi terbaik atas terjadinya tindak pidana, dengan memperhatikan kepentingan dan perlindungan korban serta tanggung jawab pelaku.

Namun, dalam praktiknya, rehabilitasi pada kasus penyalahgunaan narkotika masih dianggap sebagai bagian dari pemidanaan karena menganut asas double track system. Meskipun restorative justice dan rehabilitasi memiliki tujuan yang sama untuk memulihkan pelaku dan korban, restorative justice pada kasus penyalahgunaan narkotika lebih difokuskan pada aspek filosofisnya, yaitu mengembalikan kondisi pelaku sebagai korban dari tindakannya sendiri.